Harga sebuah ketulusan
September 20, 2006
Pembeli : Mas, njaluk korek jres-e! (Mas, beli korek api dong)
Penjual : Wah ra ana je Mas. Anane gas ki, kersa pa? (Wah, ngga ada Mas. Adanya korek gas, mau?)
Pembeli : Wo (Wah)
Penjual : Wis dinggo wae Mas koreke gas. Penak kok ... (Ini dipakai saja Mas korek gasnya. Santai saja ...)
Si pembeli mengambil korek gas tersebut, menyalakan rokok dan mengembalikannya. Sang penjual berlalu sambil memberi senyuman.
Percakapan di atas terjadi di sebuah ruang publik kota Yogyakarta, antara seorang pedagang asongan dengan (calon) pembeli korek api. Sebuah percakapan sederhana, tak sampai 1 menit, yang mungkin terasa biasa bagi kedua pelakunya. Namun jujur, sangat berkesan bagi saya yang mendengarnya.
Betapa seorang wong cilik, pedagang asongan, yang menggantungkan hidupnya dan keluarganya hanya dari berjualan rokok dan segala perlengkapan merokoknya, mempunyai sikap yang luar dari biasa.
Ia bisa saja melenggang pergi, toh si calon pembeli tidak berniat membeli korek yang gas dan rela menunda prosesi merokoknya. Ia dapat saja mencari calon pembeli lain yang lebih potensial. Namun tidak! Yang terjadi selanjutnya tidak masuk ke dalam logika saya sebagai seorang mantan mahasiswa, karyawan, dan penghuni metropolitan.
(Tiba-tiba saya tersadar, betapa banyak yang telah terlewatkan oleh otak kecil dan ego besar saya ...)
Berlebih tapi tak mau membagi
Kurang tapi tak sungkan memberi
Penjual : Wah ra ana je Mas. Anane gas ki, kersa pa? (Wah, ngga ada Mas. Adanya korek gas, mau?)
Pembeli : Wo (Wah)
Penjual : Wis dinggo wae Mas koreke gas. Penak kok ... (Ini dipakai saja Mas korek gasnya. Santai saja ...)
Si pembeli mengambil korek gas tersebut, menyalakan rokok dan mengembalikannya. Sang penjual berlalu sambil memberi senyuman.
Percakapan di atas terjadi di sebuah ruang publik kota Yogyakarta, antara seorang pedagang asongan dengan (calon) pembeli korek api. Sebuah percakapan sederhana, tak sampai 1 menit, yang mungkin terasa biasa bagi kedua pelakunya. Namun jujur, sangat berkesan bagi saya yang mendengarnya.
Betapa seorang wong cilik, pedagang asongan, yang menggantungkan hidupnya dan keluarganya hanya dari berjualan rokok dan segala perlengkapan merokoknya, mempunyai sikap yang luar dari biasa.
Ia bisa saja melenggang pergi, toh si calon pembeli tidak berniat membeli korek yang gas dan rela menunda prosesi merokoknya. Ia dapat saja mencari calon pembeli lain yang lebih potensial. Namun tidak! Yang terjadi selanjutnya tidak masuk ke dalam logika saya sebagai seorang mantan mahasiswa, karyawan, dan penghuni metropolitan.
(Tiba-tiba saya tersadar, betapa banyak yang telah terlewatkan oleh otak kecil dan ego besar saya ...)
Berlebih tapi tak mau membagi
Kurang tapi tak sungkan memberi