<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d20516250\x26blogName\x3dHASTO+ANGGORO\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLACK\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://hastoanggoro.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://hastoanggoro.blogspot.com/\x26vt\x3d813154366030461087', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Mancing yuk?

September 30, 2006

Beberapa malam yang lalu saya berkesempatan ngobrol dengan Bapak penjual tongseng kaki lima yang kebetulan aslinya dari Wonogiri.

"Kok kemarin nggak buka Pak?"
"Iya, Mas ke sini ya? Tiap Sabtu Minggu saya nggak dagang Mas."
"Nah kenapa?"
"Mancing Mas, di laut, refresing lah Mas."
"Wuah, asyik tuh, tapi mahal di ongkos dong."
"Ah nggak, berangkat dari Kamal ke pulau Seribu naik perahu cuma 20 rb Mas."
"Ow, saya nggak tahu, belum pernah, bisa ya dari sana?"
"Iya Mas, cepet kok, paling seperempat jam di perahunya."
"Mmm ... dapet banyak ya mancingnya Pak?"
"Ya, lumayan, kebanyakan sih cumi, gede-gede lo Mas." (sambil keduanya tangannya memperagakan ukuran si cumi)
"Wah, mahal tuh kalau dijual mateng, jadi seafood."
"Wah la iya lah Mas mahal, tapi kemarin ya tak makan sendiri"
"... Terus tiap sabtu minggu nggak sayang nggak jualan Pak? Kan mestinya malah laris?"
"Ngapa juga Mas kerja terus. Kerja kan untuk hidup, bukan hidup buat kerja, ya toh?"

( ... )

Harga sebuah ketulusan

September 20, 2006

Pembeli : Mas, njaluk korek jres-e! (Mas, beli korek api dong)
Penjual : Wah ra ana je Mas. Anane gas ki, kersa pa? (Wah, ngga ada Mas. Adanya korek gas, mau?)
Pembeli : Wo (Wah)
Penjual : Wis dinggo wae Mas koreke gas. Penak kok ... (Ini dipakai saja Mas korek gasnya. Santai saja ...)
Si pembeli mengambil korek gas tersebut, menyalakan rokok dan mengembalikannya. Sang penjual berlalu sambil memberi senyuman.

Percakapan di atas terjadi di sebuah ruang publik kota Yogyakarta, antara seorang pedagang asongan dengan (calon) pembeli korek api. Sebuah percakapan sederhana, tak sampai 1 menit, yang mungkin terasa biasa bagi kedua pelakunya. Namun jujur, sangat berkesan bagi saya yang mendengarnya.

Betapa seorang wong cilik, pedagang asongan, yang menggantungkan hidupnya dan keluarganya hanya dari berjualan rokok dan segala perlengkapan merokoknya, mempunyai sikap yang luar dari biasa.

Ia bisa saja melenggang pergi, toh si calon pembeli tidak berniat membeli korek yang gas dan rela menunda prosesi merokoknya. Ia dapat saja mencari calon pembeli lain yang lebih potensial. Namun tidak! Yang terjadi selanjutnya tidak masuk ke dalam logika saya sebagai seorang mantan mahasiswa, karyawan, dan penghuni metropolitan.

(Tiba-tiba saya tersadar, betapa banyak yang telah terlewatkan oleh otak kecil dan ego besar saya ...)

Berlebih tapi tak mau membagi
Kurang tapi tak sungkan memberi