<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d20516250\x26blogName\x3dHASTO+ANGGORO\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLACK\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://hastoanggoro.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://hastoanggoro.blogspot.com/\x26vt\x3d813154366030461087', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Nyam nyam

April 14, 2007

"Neng Jakarta ki Mas ki ngundange Abang yo? (Di Jakarta Mas itu dipanggil Abang – bahasa Jawanya merah – ya?)
"Mmm, njih Pakde"
"Wah, padahal mas neng kene kuning je" (Wah, padahal emas disini kuning)

Saya membutuhkan beberapa detik untuk mencerna celotehan ringan Pakde saya itu. Setelah paham, saya hanya bisa mesem kecut, karena sadar ada hal ironis di balik gurauan itu. Saya lahir dan besar di daerah, dan seperti halnya jutaan penghuni metropolitan lainnya, saya seorang pendatang.

Jakarta, dengan segala keriuhannya, adalah sebuah kota yang sangat kompleks. Dimana 24 jam sehari tidak pernah terasa cukup. Sekedar memejamkan mata seakan menjadi hal yang tabu dilakukan kalau tidak ingin dikalahkan orang lain. Semua orang selalu berebut untuk menjadi yang terdepan, setiap saat, bahkan juga ketika sedang menunggu lampu hijau menyala di perempatan (eh maap koreksi, di Jakarta warna kuning dianggap sama dengan hijau ding hehehe). Atau ketika menunggu gorengan matang di kakilima. "Pokoknya gua paling depan, peduli amat lu datang duluan." Keberanian menyerobot jatah orang lainlah yang berbicara.

Lain halnya dengan Yogyakarta (dan juga sebagian besar kota lain di Indonesia), yang memiliki kultur berbanding terbalik. Alon-alon waton kelakon. Biar lambat asal selamat. Bondan Winarno pernah berkata di bukunya Jalan Sutra: ia iri dengan 'kepasrahan' orang Jogja. Ia pernah membeli makanan di salah satu warung, kebetulan terkenal enak sehingga cukup ramai. Ia heran melihat para pembelinya yang ngantri malah duduk santai ngobrol di kursi bambu. Padahal tidak kenal. Kalau di Jakarta? Wah, bisa sikut-sikutan campur dorong-dorongan plus lirikan tajam kanan-kiri.

Pertanyaannya sekarang, siapa suruh datang Jakarta?

(Kalau istilah mantan atasan saya: 'Yogyakarta Berhati Nyam-Nyam'. Setubuh Pak!)

Kepala hilang


"Boleh saya hidangkan kepala saya?"

Zuzu

April 12, 2007


Zaya zebel zama zitu zebab zitu zuka zenyum-zenyum zendiri zama zapi zaya ... halah guyonan katrok hehe.

Monyet atau kucing

April 11, 2007

Suatu hari adik sepupu saya (3) diajak jalan-jalan oleh ayahnya naik mobil. Berdua saja. Perjalanan berlangsung lancar sampai ada sesuatu yang melintas tiba-tiba di jalan.

Ciiiitttttt!! Mobil direm mendadak.
"MONYET!!"
"Itu bukan monyet pah. Itu kucing."
"..."

(Anak jaman sekarang memang pinter-pinter yah, cieeeh sudah mulai sok tua)

Benteng

April 10, 2007


Benteng yang bisa nyeruduk.

How much masturbation is too much?

April 09, 2007

Hmm. Judul yang provokatif. Mohon maaf sebelumnya kalau mengecewakan, isi posting ini tidak ada yang menyinggung urusan perut ke bawah.

Sori bentar saya cerita dulu ya. Ada seorang teman saya, waktu kecilnya dulu, suka sekali dengan kecap. Bahkan kalau disuruh makan nasi hanya dengan lauk kecap sekalipun, ia akan makan dengan lahapnya. Suatu hari, di luar pengawasan orangtuanya, karena saking terobsesi, ia menenggak habis satu botol kecap! Alhasil, ia muntah-muntah. Semenjak hari itu sampai dewasa ini, ia benar-benar anti sama sekali dengan kecap. Di makanan apapun.

Terlalu. Berlebihan. Segala sesuatu yang dikonsumsi melebihi ambang batas normal. Orang bilang segala sesuatu yang terlalu, selalu tidak baik. Benarkah itu? Mungkin juga ... Contoh saja di dunia kerja, kalau Anda terlalu ramah, Anda dituduh melakukan praktek p-n-j-l-t-n. Terlalu tegas, eh dipandang jahat. Hal lainnya, normally, bekerja itu kan 8 jam sehari. Lebih 1-2 jam masih normal. Namun, ada beberapa pekerja yang dengan suka rela bekerja hingga rata-rata 15 jam sehari. Bukan sopir taksi, bukan satpam tapi pekerja kantoran. Untuk apa? Ada banyak sih hal yang dijadikan alasan, tapi sudah saya persempit jadi 3 : uang, passion dan ego.

Oke, mari kita bahas satu persatu. Uang. Hehehe, tidak usah malu, sebagian besar dari kita masih belum bisa memenuhi wejangan Mr. Kiyosaki kan? Kita bekerja untuk uang, bukan sebaliknya. Perusahaan (tempat) Anda (bekerja) memberikan uang lembur? Kalau iya dan besarnya bisa melebihi gaji pokok, ya sah-sah saja Anda mengejar materi dengan kristalisasi keringat (meminjam istilah Tukul) melebihi jam kerja resmi. Apalagi kalau sedang dalam kondisi bu. Kalau tidak dan Anda masih lembur? Errr, mungkin Anda termasuk dalam 2 alasan lain di bawah ini.

Passion. Yang ini sangat relatif. Apa pilihan Anda waktu masih mahasiswa? Menemukan tempat untuk berkarya dengan membaca Kompas hari Sabtu atau membangun sendiri tempat berkubang Anda? Khusus bagi pemilih alternatif pertama: Apa motivasi Anda saat sudah bekerja? Jabatan atau ilmu?

Ego. Perfectionist dan workaholic adalah sahabat yang sangat erat. Anda mengenal baik keduanya? Well, good luck with you deh. Hati-hati mata merah dan kurang darah.

Wah, hampir ngelantur. Kembali ke topik awal, si terlalu tadi. Bob Sadino bilang, ia tidak pernah mau disuruh bekerja keras. Hanya orang bego yang mau bekerja keras. Ia mencapai kesuksesannya cuma dengan bekerja dari bangun tidur hingga mau tidur lagi. Eh itu bukannya bekerja keras? Nanti dulu. Ia bilang, pekerjaannya tidak pernah ia pandang sebagai sebuah pekerjaan, karena ia menikmatinya.

Satu hal yang jelas, kalau Bob Sadino penikmat kecap, ia pasti tidak mau minum kecap dari botolnya. Mengetahui takaran masing-masing itu penting, karena hidup butuh keseimbangan.

(Judul sekaligus pertanyaan ra mutu di atas, ada yang bisa jawab? Penasaran niy ... hihihi)