<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d20516250\x26blogName\x3dHASTO+ANGGORO\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLACK\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://hastoanggoro.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://hastoanggoro.blogspot.com/\x26vt\x3d813154366030461087', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Demi Nyai

February 26, 2007


Demi nyai abdi bade ngudag Jakarta! Ekspres pokokna mah!

Can I afford this?

February 22, 2007

Pernyataan itu terus dikemukakan oleh Oprah di salah satu seri acara talkshownya. Sebagai solusi permasalahan yang sedang dibahasnya sesi itu. Topiknya sendiri adalah mengenai potret sebagian besar keluarga di Amerika Serikat yang gaya hidupnya melebihi kemampuan finansialnya.

Keluarga-keluarga itu digolongkan sebagai pecandu belanja yang akut. Bukan hanya ibu, atau anak gadisnya, namun seluruh anggota keluarga, termasuk bapak. Untuk mengalihkan perhatian sejenak dari masalah hidup, mereka berbelanja. Terkadang hal itu terjadi secara spontan, sekedar mengisi waktu setelah menjemput anak pulang sekolah, atau ketika pulang dari kantor. Mereka termasuk golongan ekonomi menengah, tetapi perilaku konsumtifnya jetset. Anggota keluarga 4, mobil ada 5. Mereka membeli sesuatu berdasarkan keinginan, bukan kebutuhan. Hanya sekali melihat suatu barang, menyukainya, lalu bersikeras, melakukan apapun untuk mendapatkannya. Termasuk berhutang. Semua dilakukan secara cepat. Tanpa berpikir dua kali. Impulsive.

Saya sendiri seorang impulsive buyer. Meskipun (belum) parah sih. Belum sampai ngutang-ngutang. Sering terjadi ketika memasuki pusat perbelanjaan, saya menghabiskan uang untuk barang yang sama sekali tidak direncanakan. Pekerjaan memang 'mengharuskan' saya untuk selalu concern terhadap perkembangan dunia konsumsi. Untuk itu saya sering menghabiskan waktu di pusat perbelanjaan, awalnya bertekad hanya akan melihat-lihat. Namun pada akhirnya tetap saja membeli sesuatu, entah karena merasa butuh, menganggap barangnya 'lucu', atau tertarik karena barang baru, atau juga karena malu pada pramuniaga kalau keluar tidak membeli apapun.

Malu? Nah! Alasan inilah yang dipakai oleh keluarga-keluarga di Amerika itu. Klise kedengarannya, mereka malu terhadap tetangganya, keluarganya, teman-temannya. Yang mereka anggap lebih bonafid gaya hidupnya. Karena untuk mengejar 'ketertinggalannya' secara normal tidak mungkin, mereka lalu berhutang. Di sinilah letak kesalahan terbesar mereka. Hutang yang mereka lakukan melalui kartu kredit tidak terlihat nyata. Setiap kali tagihan berupa surat datang, mereka tidak membacanya. Pura-pura lupa. Ketika jatuh tempo, mereka mengakalinya dengan membuat kartu baru. Gali lubang tutup lubang. Sampai suatu hari mereka panik menyadari tumpukan tagihan memenuhi laci. Tidak ada celah untuk meyelamatkan diri lagi dan sama sekali tidak sanggup membayar. Bangkrut.

Oh, lebih dari bangkrut. Minus.

Membeli sesuatu yang tidak dibutuhkan, dan menggunakan uang yang tidak dimiliki – dikutip dari Samuel Mulia.

(Benar-benar top memang si Oprah. Adaaa aja topik yang menohok pemirsanya.)

Bajigur dan mi goreng jowo

February 21, 2007


Kangen kampung halaman ...

Creme de la creme

February 19, 2007

Di satu sore, saya mengunjungi sebuah cafe eksklusif di bilangan Jakarta Pusat. Belum lama saya menikmati teh rasa mangga (mango tea istilah kerennya), meja di depan saya didatangi 3 cewek, semuanya relatif cantik. Mereka mungkin 4-5 tahun di bawah saya, masih awal-awal kuliah. Dari penampilannya, bisa dikatakan termasuk kalangan atas. Datang dengan memakai baju yang mungkin hanya akan dikenakan orang biasa saat ke pesta, make up tipis berkelas, wangi yang jelas bukan hasil semprot parfum isi ulang, high heels dan membawa tas jinjing yang harganya mungkin melebihi gaji saya sebulan.

Sesaat setelah duduk, ketiganya langsung menyalakan rokok masing-masing. Memanggil waiter dengan penuh percaya diri. Memesan minum dan makanan. Lalu mengobrol sambil diselingi tawa berderai, selama hampir dua jam (loh berarti saya lebih lama dong ... hehehe). Begitulah, menanggapi topik obrolan kurang penting saja (bagi saya lho) reaksi mereka bisa di luar dugaan. Penuh antusiasme dan keceriaan berlebih. Pada saat akan membayar, mereka berebut, adu cepat mengeluarkan kartu kredit, seakan-akan ditraktir teman sendiri adalah hal yang memalukan.

Satu hal yang terlintas di benak ketika mengamati mereka : "Apabila memang di kemudian hari saya mampu mewujudkan mimpi, relakah saya bila anak-anak saya nanti menjadi seperti mereka?"

(Halah siapa sih saya ini, kok berani-beraninya menilai orang lain.)

Antara got dan hp

February 14, 2007

"Coba hapenya ada talinya, gampang ngambilnya Mas!"

"Coba hapenya model yang flip itu, gampang ngambilnya Mas!"

"Coba hapenya disarungin, gampang ngambilnya Mas!"

(Masukan-masukan seperti itu pasti akan saya terima dengan hati lapang, kalau saja hp saya tidak sedang berada di dasar GOT!!)