What for atau for what
October 24, 2006
Hidup itu selalu berkisar soal pilihan. Bahkan hidup itu sendiri adalah pilihan. Ekstremnya saja nih, atas kemauan sendiri, Anda bisa saja menelan obat serangga saat ini kan? Terus ketemu sama punggawanya neraka? Hehehe. Eh jangan lo, obat serangga pait.
Pilihan itu terkadang A dan B, tapi kadang juga A atau Z. Kadang mudah, tapi sayangnya lebih sering sangat sulit. Walaupun belum tentu juga sih pilihan yang bertolak belakang lebih susah. Pilihan yang mirip satu sama lain bisa membuat pecas ndahe. Buah simalakama. Dimakan Bapak mati, nggak dimakan Ibu mati.
Makin ke sini, pilihan tidak lagi sesederhana menyusun mata kuliah satu semester. Kebutuhan yang semakin banyak membuat pilihan semakin ragam dengan margin keuntungan masa depan yang semakin sempit. Mau menjadi ikan kecil di kolam yang besar atau ikan besar di kolam kecil? Kalau saya sih milih jadi paus di samudra pasifik hehehe tapi sayangnya sampai sekarang masih jadi teri di kantong air:(
Kadang hanya disediakan waktu 2 detik berpikir oleh sang Penguasa Waktu (seperti ambil jalan tikus mana kalau terjebak macet di Fatmawati hehe). Tapi nggak jarang bisa bertahun-tahun waktu menimbang segala kemungkinan. Kalau bisa saya yang pertama aja deh, less risk. Kalau kasus kedua hasilnya adalah gagal, bisa gawat urusan.
Keberanian menentukan pilihan keciiil saja bisa sangat mempengaruhi bahkan sampai sisa hidup. Ilustrasi saja, detik ini Anda lihat cewek manis, Anda dekati, kenalan, temenan, jadian, langgeng. Siapa yang tahu esok dia akan menjadi istri idaman Anda dan punya hak kepemilikan bersama atas 3 anak kiyut bin imut, rumah mungil nan asri serta seekor anjing chihuahua? Coba kalau di detik yang tadi Anda memilih untuk tidak berani? Bisa jadi bujang lapuk kan?
Atau sebaliknya, setelah nikah Anda baru tahu ternyata istri Anda adalah ratu tega, pokoknya tampak luarnya aja yang manis. Dan tidak ada kesempatan untuk balik kanan. Pasti sekarang Anda mengutuk habis keberanian Anda di detik tadi.
Nasib? Mungkin juga. Tapi itu adalah konsekuensi dari pilihan Anda.
Apa sih dasarnya memilih? Logika, hati atau dua-duanya? Yee mau milih aja harus milih dulu juga.
Terus kesimpulannya? Pilih mana dong? Saya juga tidak tahu jawabannya. Cuma bisa menganjurkan mbok ya jangan lama-lama berpikirnya. Anda akan berjalan di tempat (terkadang itu lebih menyakitkan daripada kemunduran). Dan karena waktu tidak punya pilihan untuk putar balik.
Susun rapi masalah dan calon masalah, kumpulkan keberanian dan buatlah keputusan. Apapun itu. Oh ya satu lagi, egois halal di masalah ini. Karena hanya Anda yang tahu apa yang Anda inginkan.
(Nah sekarang milih apa? Mau nerusin baca blog banyak kecap tapi tanpa mutu ini? Atau duduk di teras rumah ditemani teh manis hangat dan pisang goreng keju? Nah lo!)
Pilihan itu terkadang A dan B, tapi kadang juga A atau Z. Kadang mudah, tapi sayangnya lebih sering sangat sulit. Walaupun belum tentu juga sih pilihan yang bertolak belakang lebih susah. Pilihan yang mirip satu sama lain bisa membuat pecas ndahe. Buah simalakama. Dimakan Bapak mati, nggak dimakan Ibu mati.
Makin ke sini, pilihan tidak lagi sesederhana menyusun mata kuliah satu semester. Kebutuhan yang semakin banyak membuat pilihan semakin ragam dengan margin keuntungan masa depan yang semakin sempit. Mau menjadi ikan kecil di kolam yang besar atau ikan besar di kolam kecil? Kalau saya sih milih jadi paus di samudra pasifik hehehe tapi sayangnya sampai sekarang masih jadi teri di kantong air:(
Kadang hanya disediakan waktu 2 detik berpikir oleh sang Penguasa Waktu (seperti ambil jalan tikus mana kalau terjebak macet di Fatmawati hehe). Tapi nggak jarang bisa bertahun-tahun waktu menimbang segala kemungkinan. Kalau bisa saya yang pertama aja deh, less risk. Kalau kasus kedua hasilnya adalah gagal, bisa gawat urusan.
Keberanian menentukan pilihan keciiil saja bisa sangat mempengaruhi bahkan sampai sisa hidup. Ilustrasi saja, detik ini Anda lihat cewek manis, Anda dekati, kenalan, temenan, jadian, langgeng. Siapa yang tahu esok dia akan menjadi istri idaman Anda dan punya hak kepemilikan bersama atas 3 anak kiyut bin imut, rumah mungil nan asri serta seekor anjing chihuahua? Coba kalau di detik yang tadi Anda memilih untuk tidak berani? Bisa jadi bujang lapuk kan?
Atau sebaliknya, setelah nikah Anda baru tahu ternyata istri Anda adalah ratu tega, pokoknya tampak luarnya aja yang manis. Dan tidak ada kesempatan untuk balik kanan. Pasti sekarang Anda mengutuk habis keberanian Anda di detik tadi.
Nasib? Mungkin juga. Tapi itu adalah konsekuensi dari pilihan Anda.
Apa sih dasarnya memilih? Logika, hati atau dua-duanya? Yee mau milih aja harus milih dulu juga.
Terus kesimpulannya? Pilih mana dong? Saya juga tidak tahu jawabannya. Cuma bisa menganjurkan mbok ya jangan lama-lama berpikirnya. Anda akan berjalan di tempat (terkadang itu lebih menyakitkan daripada kemunduran). Dan karena waktu tidak punya pilihan untuk putar balik.
Susun rapi masalah dan calon masalah, kumpulkan keberanian dan buatlah keputusan. Apapun itu. Oh ya satu lagi, egois halal di masalah ini. Karena hanya Anda yang tahu apa yang Anda inginkan.
(Nah sekarang milih apa? Mau nerusin baca blog banyak kecap tapi tanpa mutu ini? Atau duduk di teras rumah ditemani teh manis hangat dan pisang goreng keju? Nah lo!)