A : Loh, ini dah menang? ... Enggak jadi pitching?
B : Iya, enggak.
A : Kok bisaaa ...?
B : Bisaa dooong ...
C : Hasil dari ngerjain klien seharian kemaren tuh hihihi.
Mohon jangan salah paham, percakapan di atas sama sekali tidak berhubungan dengan cerita-cerita umbar syahwat kalangan bisnis. Murni pembicaraan rutin pagi hari antara rekan kerja, divisi kreatif dan marketing, mereview proyek kantor. Kebetulan hanya A yang berjenis pria. Dan satu-satunya dari kreatif.
Untuk setiap proyek yang nilainya cukup besar, biasanya akan diberi status pitching/tender oleh si empunya poyek. Setiap peminat akan bertarung dahulu untuk memenangkan proyek tersebut. Fair and square, itu tujuan dari pitching. Mengumpulkan sebanyak mungkin alternatif, kemudian mencari yang terbaik dari segala segi. Namun, sering terjadi ketika peminat sudah mengerahkan segenap kemampuan, terkadang sampai berdarah-darah tapi ujung-ujungnya gigit jari, kalah. Masih mending kalah dari saingan yang lebih baik, terhormat dan melecut semangat untuk memberikan lebih di lain kesempatan. Apesnya, lebih sering kalah dari seteru yang tidak lebih baik. Atau lebih buruk.
Lepas dari masalah pitching, ada satu pertanyaan yang dari dulu menggelitik penulis. Apa sih yang pualing menyebabkan suatu proyek sukses? Hayo. Orisinalitas idekah? Keindahan desainkah? Kelengkapan materikah? Individu presenterkah? Hargakah? Dll. Dll.
Kalau mau fair sih memang harus kesemuanya. Tapi apakah mungkin seseorang / tim menguasai seluruh bahan? Terkadang waktu yang mepet membuat segalanya dieprsiapkan dengan instan.
Lalu apa dong yang musti kita tempatkan pada deretan pertama?
Kemampuan persuasif.
Kemampuan mempengaruhi orang lain. Kemampuan menggiring orang lain mengikuti apa yang kita mau. Mengatakan bahwa "A" adalah yang benar, dan orang lain mendengarnya sebagai : "B sampai Z adalah salah".
Terus gimana cara yang paling cepet dan bener ngeyakinin orang?
Simple. Learn from woman.
Jujur saja, sifat bawaan wanita memang pas untuk era kompetitif. Selain paras menawan yang tak jarang membuat luluh hati petinggi-petinggi pihak klien, bahan pembicaraan yang seakan tidak pernah habis membuat lawan bicara betah berlama-lama. Keluwesan pembawaan menjadi modal utama mereka.
Saya tidak mengharapkan Anda (kalau Anda jongkok nunjuk :)) mencoba berperan seperti layaknya perempuan. Tidak. Tapi setidaknya hilangkan sedikit kesan kaku maskulinitas Anda, luar dan dalam.
Sudah bukan jamannya lagi menjadi desainer yang lusuh, kumal dan kaku. Jangan hanya menjadi desainer satu dimensi. Yang hanya berpikir bagamaimana cara membuat desain yang bagus. Karena penilaian 'bagus' untuk sebuah karya itu adalah relatif, sedangkan penilaian 'bagus' untuk penampilan fisik adalah mutlak. Sama untuk semua orang.
Ada satu ungkapan teman yang paling saya suka; "Kalau kamu jualan sesuatu yang menurutmu estetik, kamunya sendiri juga harus enak dipandang dong ..."
(Tapi memang sih, hanya Tuhan dan sopir bajaj saja yang tahu, hal apa yang dilakukan oleh si B kemarin ...)