Cuma mencoba kok
November 29, 2006
"Saya cuma coba-coba aja kok"
"Ouw, jadi ajang ini kelinci percobaan kamu ya?"
"Enggak mas, saya cuma pengen tahu di mana kemampuan sa ..."
"Oooh jadi kamu nggak serius nih, kalo gitu ya ngapain juga kitanya nanggepin kamu serius ..."
Perbincangan hangat tersebut terjadi di layar kaca. Pada saat uji kemampuan menyanyi berhadiah sedang lucu-lucunya muncul di televisi. Seorang kontestan dipojokkan oleh juri karena menyanyi asal-asalan (menurut standar penilainya) dan karena mengaku cuma pengen ikutan saja.
Betulkah mencoba itu haram di lakukan di dunia profesionalisme? Katakanlah ada seorang pelamar kerja yang membuat cv berbeda dengan brief yang ditetapkan. Atau karyawan yang memakai celana jins di hari Senin padahal PKnya (Peraturan Karyawan, hihihi ngawur nih gw, ada gak sih?) menganjurkan sebaliknya. Atau orang bag. keu. yang menghitung duit gajian pakai sempoa bukan kalkulator apa excel (duh makin ngawur gw). Mereka bersalah nggak?
Kalau Perkembangan Aset Tersedia dan Manusia yang bilang sih pastinye bersalah, secara peraturannya dibuat mereka kan? Atas bimbingan serta petunjuk owner lhooo. Tapi apakah salah mutlak, tanpa mendengar alasannya?
Mungkin gak bisa bikin kompresan cv pakai format .sitx, bisanya .zip. Mungkin celana kainnya keujanan semua (duilee sedih amat). Mungkin jarinya jempol semua, keyboard sekali pencet kepencet semua. Trus coba-coba. Eh, siapa tahu cvnya bisa kebuka, tembus, dipanggil wawancara deh. Eh, siapa tahu kerja seharian nanti gak ketemu si bos, gak ketahuan pake jins (orang jinsnya item, siapaaa juga yang bakal merhatiin dengkul sesama jenis), daripada gak masuk kan, ilang uang makan. Eh, siapa tahu pakai sempoa ngitung gaji sendiri jadi ketambah 10%, 'mayan (iya dong, orang keu kan satu-satunya karyawan di dunia yang menggaji diri sendiri).
Walaupun 'kesalahan' itu dilakukan tanpa niat jahat (kecuali si keu tadi haha), tetap saja, predikat bersalah disematkan pada pelakunya. Bersalah? Hmmm. Peraturan sih memang peraturan, tetapi toh bukan hukum asasi (cieeeh, emang ada? Hak asasi kalee) atau 10 Perintah Allah yang memang tidak boleh terlanggar.
Ada lagi contoh, mungkin beda dikit esensinya, tapi masih satu topiklah. Saya pernah tidak sengaja mendengar program radio yang mengudarakan tips-tips bagi karyawan baru. Pas si penyiarnya ngomong gini: "Mungkin di lowongan tertulis Anda harus mempunyai insiatif, kreatif dan aktif, tapi hormati (baca: jilat .red) dong atasan dan karyawan lama. Mereka akan merasa dilangkahi Anda lho ..."
Nah. Apa tuh maksudnya? Mental inlander sudah sangat mendarah daging?
Ayo dong, berani mencoba! Tabrak aja itu tembok! Daripada minder lebih baik pede toh?
(Ah gw kan cuma coba-coba nulis. Ya jangan ada yang tersindir dong. Gw juga mental inlander kok. Lo juga kan. Tul gak sob?)
"Ouw, jadi ajang ini kelinci percobaan kamu ya?"
"Enggak mas, saya cuma pengen tahu di mana kemampuan sa ..."
"Oooh jadi kamu nggak serius nih, kalo gitu ya ngapain juga kitanya nanggepin kamu serius ..."
Perbincangan hangat tersebut terjadi di layar kaca. Pada saat uji kemampuan menyanyi berhadiah sedang lucu-lucunya muncul di televisi. Seorang kontestan dipojokkan oleh juri karena menyanyi asal-asalan (menurut standar penilainya) dan karena mengaku cuma pengen ikutan saja.
Betulkah mencoba itu haram di lakukan di dunia profesionalisme? Katakanlah ada seorang pelamar kerja yang membuat cv berbeda dengan brief yang ditetapkan. Atau karyawan yang memakai celana jins di hari Senin padahal PKnya (Peraturan Karyawan, hihihi ngawur nih gw, ada gak sih?) menganjurkan sebaliknya. Atau orang bag. keu. yang menghitung duit gajian pakai sempoa bukan kalkulator apa excel (duh makin ngawur gw). Mereka bersalah nggak?
Kalau Perkembangan Aset Tersedia dan Manusia yang bilang sih pastinye bersalah, secara peraturannya dibuat mereka kan? Atas bimbingan serta petunjuk owner lhooo. Tapi apakah salah mutlak, tanpa mendengar alasannya?
Mungkin gak bisa bikin kompresan cv pakai format .sitx, bisanya .zip. Mungkin celana kainnya keujanan semua (duilee sedih amat). Mungkin jarinya jempol semua, keyboard sekali pencet kepencet semua. Trus coba-coba. Eh, siapa tahu cvnya bisa kebuka, tembus, dipanggil wawancara deh. Eh, siapa tahu kerja seharian nanti gak ketemu si bos, gak ketahuan pake jins (orang jinsnya item, siapaaa juga yang bakal merhatiin dengkul sesama jenis), daripada gak masuk kan, ilang uang makan. Eh, siapa tahu pakai sempoa ngitung gaji sendiri jadi ketambah 10%, 'mayan (iya dong, orang keu kan satu-satunya karyawan di dunia yang menggaji diri sendiri).
Walaupun 'kesalahan' itu dilakukan tanpa niat jahat (kecuali si keu tadi haha), tetap saja, predikat bersalah disematkan pada pelakunya. Bersalah? Hmmm. Peraturan sih memang peraturan, tetapi toh bukan hukum asasi (cieeeh, emang ada? Hak asasi kalee) atau 10 Perintah Allah yang memang tidak boleh terlanggar.
Ada lagi contoh, mungkin beda dikit esensinya, tapi masih satu topiklah. Saya pernah tidak sengaja mendengar program radio yang mengudarakan tips-tips bagi karyawan baru. Pas si penyiarnya ngomong gini: "Mungkin di lowongan tertulis Anda harus mempunyai insiatif, kreatif dan aktif, tapi hormati (baca: jilat .red) dong atasan dan karyawan lama. Mereka akan merasa dilangkahi Anda lho ..."
Nah. Apa tuh maksudnya? Mental inlander sudah sangat mendarah daging?
Ayo dong, berani mencoba! Tabrak aja itu tembok! Daripada minder lebih baik pede toh?
(Ah gw kan cuma coba-coba nulis. Ya jangan ada yang tersindir dong. Gw juga mental inlander kok. Lo juga kan. Tul gak sob?)