<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://draft.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d20516250\x26blogName\x3dHASTO+ANGGORO\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLACK\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://hastoanggoro.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://hastoanggoro.blogspot.com/\x26vt\x3d813154366030461087', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

How much masturbation is too much?

April 09, 2007

Hmm. Judul yang provokatif. Mohon maaf sebelumnya kalau mengecewakan, isi posting ini tidak ada yang menyinggung urusan perut ke bawah.

Sori bentar saya cerita dulu ya. Ada seorang teman saya, waktu kecilnya dulu, suka sekali dengan kecap. Bahkan kalau disuruh makan nasi hanya dengan lauk kecap sekalipun, ia akan makan dengan lahapnya. Suatu hari, di luar pengawasan orangtuanya, karena saking terobsesi, ia menenggak habis satu botol kecap! Alhasil, ia muntah-muntah. Semenjak hari itu sampai dewasa ini, ia benar-benar anti sama sekali dengan kecap. Di makanan apapun.

Terlalu. Berlebihan. Segala sesuatu yang dikonsumsi melebihi ambang batas normal. Orang bilang segala sesuatu yang terlalu, selalu tidak baik. Benarkah itu? Mungkin juga ... Contoh saja di dunia kerja, kalau Anda terlalu ramah, Anda dituduh melakukan praktek p-n-j-l-t-n. Terlalu tegas, eh dipandang jahat. Hal lainnya, normally, bekerja itu kan 8 jam sehari. Lebih 1-2 jam masih normal. Namun, ada beberapa pekerja yang dengan suka rela bekerja hingga rata-rata 15 jam sehari. Bukan sopir taksi, bukan satpam tapi pekerja kantoran. Untuk apa? Ada banyak sih hal yang dijadikan alasan, tapi sudah saya persempit jadi 3 : uang, passion dan ego.

Oke, mari kita bahas satu persatu. Uang. Hehehe, tidak usah malu, sebagian besar dari kita masih belum bisa memenuhi wejangan Mr. Kiyosaki kan? Kita bekerja untuk uang, bukan sebaliknya. Perusahaan (tempat) Anda (bekerja) memberikan uang lembur? Kalau iya dan besarnya bisa melebihi gaji pokok, ya sah-sah saja Anda mengejar materi dengan kristalisasi keringat (meminjam istilah Tukul) melebihi jam kerja resmi. Apalagi kalau sedang dalam kondisi bu. Kalau tidak dan Anda masih lembur? Errr, mungkin Anda termasuk dalam 2 alasan lain di bawah ini.

Passion. Yang ini sangat relatif. Apa pilihan Anda waktu masih mahasiswa? Menemukan tempat untuk berkarya dengan membaca Kompas hari Sabtu atau membangun sendiri tempat berkubang Anda? Khusus bagi pemilih alternatif pertama: Apa motivasi Anda saat sudah bekerja? Jabatan atau ilmu?

Ego. Perfectionist dan workaholic adalah sahabat yang sangat erat. Anda mengenal baik keduanya? Well, good luck with you deh. Hati-hati mata merah dan kurang darah.

Wah, hampir ngelantur. Kembali ke topik awal, si terlalu tadi. Bob Sadino bilang, ia tidak pernah mau disuruh bekerja keras. Hanya orang bego yang mau bekerja keras. Ia mencapai kesuksesannya cuma dengan bekerja dari bangun tidur hingga mau tidur lagi. Eh itu bukannya bekerja keras? Nanti dulu. Ia bilang, pekerjaannya tidak pernah ia pandang sebagai sebuah pekerjaan, karena ia menikmatinya.

Satu hal yang jelas, kalau Bob Sadino penikmat kecap, ia pasti tidak mau minum kecap dari botolnya. Mengetahui takaran masing-masing itu penting, karena hidup butuh keseimbangan.

(Judul sekaligus pertanyaan ra mutu di atas, ada yang bisa jawab? Penasaran niy ... hihihi)

leave a comment