Ampun dee
January 22, 2007
"Ampun de". Kalimat tersebut saya lihat keluar dari bibir seorang wanita penyeberang jalan. Kenapa lihat bukan dengar? Teknisnya saja sih, ia berada di luar jangkauan pendengaran saya. Saya hanya membaca gerak bibirnya saja. Bukan posisi saya dan dia berjauhan. Tapi karena hingar bingar lalu lintas di sekitar kamilah yang membuat saya tidak bisa mendengar apa yang wanita itu gumankan.
Ya. Si wanita itu mungkin sudah lebih dari lima menit berdiri di atas trotoar. Ia ingin menyeberang ke sisi lain jalan. Tapi apa daya keberaniannya langsung ciut melihat deretan tanpa habis kendaraan bermotor yang melintas sebegitu cepatnya di jalur Daan Mogot - Tangerang. Kaki mungilnya beberapa kali melangkah ragu turun ke aspal, dan beberapa kali juga mundur takut ke belakang. Matanya fokus melihat ke arah kanan, awas memperhatikan celah kosong yang mungkin terjadi di sela deru kendaraan. Yang tidak kunjung tiba. Setidaknya selama saya memperhatikan dia.
Mengapa menyeberang jalan menjadi salah satu dari sekian banyak hal yang sukar dilakukan di negeri ini?
Tidak mau mengalah. Tiga buah kata yang menurut saya telah menjadi semacam manual bagi pengguna jalan. Mereka merasa penting, butuh dan akhirnya memacu kendaraannya dengan menomorsekiankan keselamatan. Saya sendiri adalah pengguna jalan. Saya merasakan dongkolnya dipantatin angkutan umum yang nongkrong seenaknya. Saya merasakan gondoknya dipotong jalan tiba-tiba oleh bajaj. Saya merasakan panasnya disalip motor yang datang meliuk-liuk dari belakang. Saya juga merasakan sendiri betapa marahnya dipepet mobil dengan margin antara yang sangat tipis.
Saya ikut-ikutan tidak mau mengalah. Kemudian sama-sama menggila, unjuk keberanian, adu beringas. Lalu melupakan pengguna jalan yang lain, penyeberang jalan.
(Kalau kata agata – anak gaul jakarta – "ih capee dee ... ga maksud banget deh nih posting!".)
Ya. Si wanita itu mungkin sudah lebih dari lima menit berdiri di atas trotoar. Ia ingin menyeberang ke sisi lain jalan. Tapi apa daya keberaniannya langsung ciut melihat deretan tanpa habis kendaraan bermotor yang melintas sebegitu cepatnya di jalur Daan Mogot - Tangerang. Kaki mungilnya beberapa kali melangkah ragu turun ke aspal, dan beberapa kali juga mundur takut ke belakang. Matanya fokus melihat ke arah kanan, awas memperhatikan celah kosong yang mungkin terjadi di sela deru kendaraan. Yang tidak kunjung tiba. Setidaknya selama saya memperhatikan dia.
Mengapa menyeberang jalan menjadi salah satu dari sekian banyak hal yang sukar dilakukan di negeri ini?
Tidak mau mengalah. Tiga buah kata yang menurut saya telah menjadi semacam manual bagi pengguna jalan. Mereka merasa penting, butuh dan akhirnya memacu kendaraannya dengan menomorsekiankan keselamatan. Saya sendiri adalah pengguna jalan. Saya merasakan dongkolnya dipantatin angkutan umum yang nongkrong seenaknya. Saya merasakan gondoknya dipotong jalan tiba-tiba oleh bajaj. Saya merasakan panasnya disalip motor yang datang meliuk-liuk dari belakang. Saya juga merasakan sendiri betapa marahnya dipepet mobil dengan margin antara yang sangat tipis.
Saya ikut-ikutan tidak mau mengalah. Kemudian sama-sama menggila, unjuk keberanian, adu beringas. Lalu melupakan pengguna jalan yang lain, penyeberang jalan.
(Kalau kata agata – anak gaul jakarta – "ih capee dee ... ga maksud banget deh nih posting!".)