Can I afford this?
February 22, 2007
Pernyataan itu terus dikemukakan oleh Oprah di salah satu seri acara talkshownya. Sebagai solusi permasalahan yang sedang dibahasnya sesi itu. Topiknya sendiri adalah mengenai potret sebagian besar keluarga di Amerika Serikat yang gaya hidupnya melebihi kemampuan finansialnya.
Keluarga-keluarga itu digolongkan sebagai pecandu belanja yang akut. Bukan hanya ibu, atau anak gadisnya, namun seluruh anggota keluarga, termasuk bapak. Untuk mengalihkan perhatian sejenak dari masalah hidup, mereka berbelanja. Terkadang hal itu terjadi secara spontan, sekedar mengisi waktu setelah menjemput anak pulang sekolah, atau ketika pulang dari kantor. Mereka termasuk golongan ekonomi menengah, tetapi perilaku konsumtifnya jetset. Anggota keluarga 4, mobil ada 5. Mereka membeli sesuatu berdasarkan keinginan, bukan kebutuhan. Hanya sekali melihat suatu barang, menyukainya, lalu bersikeras, melakukan apapun untuk mendapatkannya. Termasuk berhutang. Semua dilakukan secara cepat. Tanpa berpikir dua kali. Impulsive.
Saya sendiri seorang impulsive buyer. Meskipun (belum) parah sih. Belum sampai ngutang-ngutang. Sering terjadi ketika memasuki pusat perbelanjaan, saya menghabiskan uang untuk barang yang sama sekali tidak direncanakan. Pekerjaan memang 'mengharuskan' saya untuk selalu concern terhadap perkembangan dunia konsumsi. Untuk itu saya sering menghabiskan waktu di pusat perbelanjaan, awalnya bertekad hanya akan melihat-lihat. Namun pada akhirnya tetap saja membeli sesuatu, entah karena merasa butuh, menganggap barangnya 'lucu', atau tertarik karena barang baru, atau juga karena malu pada pramuniaga kalau keluar tidak membeli apapun.
Malu? Nah! Alasan inilah yang dipakai oleh keluarga-keluarga di Amerika itu. Klise kedengarannya, mereka malu terhadap tetangganya, keluarganya, teman-temannya. Yang mereka anggap lebih bonafid gaya hidupnya. Karena untuk mengejar 'ketertinggalannya' secara normal tidak mungkin, mereka lalu berhutang. Di sinilah letak kesalahan terbesar mereka. Hutang yang mereka lakukan melalui kartu kredit tidak terlihat nyata. Setiap kali tagihan berupa surat datang, mereka tidak membacanya. Pura-pura lupa. Ketika jatuh tempo, mereka mengakalinya dengan membuat kartu baru. Gali lubang tutup lubang. Sampai suatu hari mereka panik menyadari tumpukan tagihan memenuhi laci. Tidak ada celah untuk meyelamatkan diri lagi dan sama sekali tidak sanggup membayar. Bangkrut.
Oh, lebih dari bangkrut. Minus.
Membeli sesuatu yang tidak dibutuhkan, dan menggunakan uang yang tidak dimiliki – dikutip dari Samuel Mulia.
(Benar-benar top memang si Oprah. Adaaa aja topik yang menohok pemirsanya.)
Keluarga-keluarga itu digolongkan sebagai pecandu belanja yang akut. Bukan hanya ibu, atau anak gadisnya, namun seluruh anggota keluarga, termasuk bapak. Untuk mengalihkan perhatian sejenak dari masalah hidup, mereka berbelanja. Terkadang hal itu terjadi secara spontan, sekedar mengisi waktu setelah menjemput anak pulang sekolah, atau ketika pulang dari kantor. Mereka termasuk golongan ekonomi menengah, tetapi perilaku konsumtifnya jetset. Anggota keluarga 4, mobil ada 5. Mereka membeli sesuatu berdasarkan keinginan, bukan kebutuhan. Hanya sekali melihat suatu barang, menyukainya, lalu bersikeras, melakukan apapun untuk mendapatkannya. Termasuk berhutang. Semua dilakukan secara cepat. Tanpa berpikir dua kali. Impulsive.
Saya sendiri seorang impulsive buyer. Meskipun (belum) parah sih. Belum sampai ngutang-ngutang. Sering terjadi ketika memasuki pusat perbelanjaan, saya menghabiskan uang untuk barang yang sama sekali tidak direncanakan. Pekerjaan memang 'mengharuskan' saya untuk selalu concern terhadap perkembangan dunia konsumsi. Untuk itu saya sering menghabiskan waktu di pusat perbelanjaan, awalnya bertekad hanya akan melihat-lihat. Namun pada akhirnya tetap saja membeli sesuatu, entah karena merasa butuh, menganggap barangnya 'lucu', atau tertarik karena barang baru, atau juga karena malu pada pramuniaga kalau keluar tidak membeli apapun.
Malu? Nah! Alasan inilah yang dipakai oleh keluarga-keluarga di Amerika itu. Klise kedengarannya, mereka malu terhadap tetangganya, keluarganya, teman-temannya. Yang mereka anggap lebih bonafid gaya hidupnya. Karena untuk mengejar 'ketertinggalannya' secara normal tidak mungkin, mereka lalu berhutang. Di sinilah letak kesalahan terbesar mereka. Hutang yang mereka lakukan melalui kartu kredit tidak terlihat nyata. Setiap kali tagihan berupa surat datang, mereka tidak membacanya. Pura-pura lupa. Ketika jatuh tempo, mereka mengakalinya dengan membuat kartu baru. Gali lubang tutup lubang. Sampai suatu hari mereka panik menyadari tumpukan tagihan memenuhi laci. Tidak ada celah untuk meyelamatkan diri lagi dan sama sekali tidak sanggup membayar. Bangkrut.
Oh, lebih dari bangkrut. Minus.
Membeli sesuatu yang tidak dibutuhkan, dan menggunakan uang yang tidak dimiliki – dikutip dari Samuel Mulia.
(Benar-benar top memang si Oprah. Adaaa aja topik yang menohok pemirsanya.)