<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d20516250\x26blogName\x3dHASTO+ANGGORO\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLACK\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://hastoanggoro.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://hastoanggoro.blogspot.com/\x26vt\x3d813154366030461087', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe" }); } }); </script>

Sesuap nasi, seteguk air dan sebongkah berlian

January 11, 2007

Melihat keseharian manusia Jakarta, hanya rasa miris yang muncul. Berangkat bekerja subuh dari rumah, sampai lagi di rumah jam 9 malam. Begitu seterusnya. Lima, terkadang enam hari seminggu proses itu berulang terus. Realitas yang terjadi di metropolitan, tempat dimana Mercedes Benz S class dan gubuk yang terbuat dari kardus adalah sama-sama hal biasa.

Kebudayaan modern adalah sebuah hasil pembentukan dari ketergantungan manusia akan ciptaannya sendiri, yaitu uang. Ya, alat tukar bernama uang adalah ciptaan manusia. Ia memang tidak terbentuk begitu saja. Ia adalah cicit dari proses yang begitu lama. Ketika manusia purba merasa kebutuhannya tidak terpenuhi dari hasil bercocok tanam atau berburu, mereka menggunakan metode penukaran barang. Kemudian alat tukar berupa barang berharga atau logam mulia, sampai sistem yang tetap kita pakai sampai sekarang, uang.

Uang yang kita kenal sekarang sebenarnya adalah bentuk semu dari 'kepercayaan'. Nilai riil dari selembar kertas mengkilat bertuliskan Seratus Ribu Rupiah tidaklah sebesar itu. Kalau dihitung mulai dari bahan baku, tinta, proses cetak, desain, akomodasi dll, selembar uang warna merah matte atau merah glossy hampir sama biaya produksinya. Kita semua merasa kertas tersebut berharga sesuai yang tercetak karena itulah nilai yang kita percaya. Nilai yang telah diajarkan oleh sistem. Bahkan nilai tersebut semakin absurd ketika uang plastik merajalela. Orang berhutang kok dianggap keren. Proses pembelian menjadi semakin mudah karena tinggal gesek saja.

Uang seakan sudah menjadi standar baku dalam menilai orang lain. Kesuksesan diukur dari seberapa besar penghasilan kita. Cita-cita luhur anak jaman dahulu seperti menjadi dokter (supaya bisa menolong orang sakit) atau insinyur (supaya bisa membangun negara) sudah dikikis oleh keinginan anak masa sekarang yang pengen menjadi artis, misalnya. Karena mudah mendapat banyak uang mereka beralasan.

Semua orang butuh uang. Untuk pemenuhan kebutuhan. Kebutuhan untuk memenuhi aktualisasi diri. Manusia terjebak dalam pusaran tanpa henti yang disebabkan oleh ciptaannya yang paling sempurna.

(Hari terakhir saya berada di Jogja sebelum pindah ke Jakarta, seseorang berkata kepada saya, "Di Jakarta itu kalau sukses ya sukses benar-benar. Tapi kalau gagal, ya gagal benar-benar". Di telinga saya terdengar : "Tiada tempat untuk orang yang berkemampuan setengah-setengah".)

leave a comment