Loe ngejudge gue?!
November 30, 2006
Suatu sore yang panas. Mas Boy yang baru datang dari business meeting, ngomong sama pembokatnya, "Jah, get me something to drink, will you." Paijah nginyem, bengong sebentar lalu ngeloyor ke dapur. Sejurus kemudian Paijah muncul lagi, "Here it is Mr. Boy, an ice tea, a cold coke and an orange juice, I don't know which one you'll prefer" kata Paijah mulus. Mas Boy melotot, terus meledak, "You stupid, I mean, a tool to drink! I buy young coconut nih. Glass or mug or bowl kek! Dumb kok di petting!" (Goblok kok dipiara, gitu kali maksud si Mas Boy).
Terkadang, untuk berbagai alasan, kita memilih untuk berkomunikasi dalam bahasa asing. Entah percakapan penuh memakai Inggris, atau campur aduk 4 bahasa. Inggris, Indonesia, bahasa daerah masing-masing dan bahasa gaul. Bahkan ketika lawan bicara kita juga sama-sama asli Indonesia totok, tetap saja bahasa internasional itu meluncur dari mulut kita. Lancar atau tidak. Pesan tersampaikan atau tidak. Ada kesalahpahaman atau tidak.
Beberapa orang bereaksi cukup deras di 'masalah' ini. Ada yang bilang budaya nginggris itu tidak menghargai usaha para pendahulu bangsa, yang puluhan tahun lalu merumuskan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu. Merusak akar budaya sendiri. Ada yang mengejek mereka yang kemampuan bahasa asingnya pas-pas saja, tapi ngotot berkomunikasi walaupun medok, belibet dan bletat-bletot sana sini. Memalukan saja. Ada juga yang berpendapat itu cuma gaya-gayaan, buat gengsi, trend sesaat semata. Paling cuma untuk urusan bisnis saja. Pulang ke rumah, ngomong maning-maning juga. Sinis.
Itu tadi satu opini, sisi lain mengatakan ini adalah perkembangan yang menggembirakan. Sudah saatnya Indonesia seperti Malaysia atau Singapura. Lihat orang-orangnya, lancar berbahasa Inggris, lalu lihat perekonomiannya, lancar tanpa masalah. Mungkin ada hubungannya, bahasa dan ekonomi, kata mereka. Tidak tahu benar, cuma mungkin. Lalu ada juga yang bilang baik untuk proses pembelajaran. Pengalaman mengatakan, orang kalau sudah terbiasa akan lebih mudah jagonya. Practice makes perfect. Perhatikan saja mahasiswa-mahasiswa yang kuliah di luar. Satu tahun saja merantau, pulang sudah kagok bahasa Indonesia.
Pihak lain lagi bicara. Lihat audiencenya dong, kalau dia mengerti pasif dan aktif bahasa Inggris, silakan pakai Inggris. Kalau tidak, ya jangan, nanti Anda dicap sok pintar. Tapi lihat juga kemampuan Anda. Kalau setengah kosong, diam sajalah dulu, perhatikan dan belajar. Kalau setengah isi, okelah, praktek akan membuat 'gelas' Anda cepat penuh.
(Oh well, just another thoughts. Cuma pemikiran tak penting saja kok. Hehehe. Heyheyhey.)
Terkadang, untuk berbagai alasan, kita memilih untuk berkomunikasi dalam bahasa asing. Entah percakapan penuh memakai Inggris, atau campur aduk 4 bahasa. Inggris, Indonesia, bahasa daerah masing-masing dan bahasa gaul. Bahkan ketika lawan bicara kita juga sama-sama asli Indonesia totok, tetap saja bahasa internasional itu meluncur dari mulut kita. Lancar atau tidak. Pesan tersampaikan atau tidak. Ada kesalahpahaman atau tidak.
Beberapa orang bereaksi cukup deras di 'masalah' ini. Ada yang bilang budaya nginggris itu tidak menghargai usaha para pendahulu bangsa, yang puluhan tahun lalu merumuskan bahasa Indonesia sebagai bahasa pemersatu. Merusak akar budaya sendiri. Ada yang mengejek mereka yang kemampuan bahasa asingnya pas-pas saja, tapi ngotot berkomunikasi walaupun medok, belibet dan bletat-bletot sana sini. Memalukan saja. Ada juga yang berpendapat itu cuma gaya-gayaan, buat gengsi, trend sesaat semata. Paling cuma untuk urusan bisnis saja. Pulang ke rumah, ngomong maning-maning juga. Sinis.
Itu tadi satu opini, sisi lain mengatakan ini adalah perkembangan yang menggembirakan. Sudah saatnya Indonesia seperti Malaysia atau Singapura. Lihat orang-orangnya, lancar berbahasa Inggris, lalu lihat perekonomiannya, lancar tanpa masalah. Mungkin ada hubungannya, bahasa dan ekonomi, kata mereka. Tidak tahu benar, cuma mungkin. Lalu ada juga yang bilang baik untuk proses pembelajaran. Pengalaman mengatakan, orang kalau sudah terbiasa akan lebih mudah jagonya. Practice makes perfect. Perhatikan saja mahasiswa-mahasiswa yang kuliah di luar. Satu tahun saja merantau, pulang sudah kagok bahasa Indonesia.
Pihak lain lagi bicara. Lihat audiencenya dong, kalau dia mengerti pasif dan aktif bahasa Inggris, silakan pakai Inggris. Kalau tidak, ya jangan, nanti Anda dicap sok pintar. Tapi lihat juga kemampuan Anda. Kalau setengah kosong, diam sajalah dulu, perhatikan dan belajar. Kalau setengah isi, okelah, praktek akan membuat 'gelas' Anda cepat penuh.
(Oh well, just another thoughts. Cuma pemikiran tak penting saja kok. Hehehe. Heyheyhey.)