Waktu saya kelas 4 SD, sekolah mengadakan jambore perkemahan untuk pramuka siaga, dan saya satu di antara pesertanya. Seminggu penuh kami berkemah di sebuah lapangan sepakbola di kampung pinggir kota. Pada malam terakhir, setelah acara jurit malam, kami semua dikumpulkan untuk mengikuti api unggun. Acara berlangsung seperti normalnya sebuah api unggun, bernyanyi bersama, permainan, dsb. Sampai akhirnya seorang anggota pembina pramuka mengambil alih mikrofon dan mulai bercerita; "Jam 9 malam tadi, kami tidak sengaja mendengarkan siaran radio dari Australia. Radio tersebut memberitakan bahwa ada sebuah meteor raksasa yang sedang melayang menuju ke bumi, dan diperkirakan akan menabrak pukul 1 pagi nanti. Seluruh umat manusia seketika akan musnah, kiamat. Kita masih mempunyai waktu 2 jam sebelum tabrakan itu akan terjadi, tapi sayangnya untuk memulangkan kalian ke rumah masing-masing adalah tidak mungkin. Sudah sangat malam dan tidak ada kendaraan yang akan mengantar. Jadi di sinilah kita, hanya bisa menunggu. Selama 2 jam sisa waktu terakhir kita, saya ingin kalian semua melakukan sesuatu, yaitu mengingat segala kebaikan orang-orang terdekat kalian, orang tua, kakak, adik, sahabat, keluarga kalian. Berdoalah untuk mereka, dan meminta maaflah dalam doa segala kesalahan kalian." Hampir seluruh peserta kemah menjadi histeris. Kami menangis dan kemudian berdoa sesuai yang dianjurkan pembina.
Kita semua tahu tabrakan itu tidak pernah terjadi. Cerita meteor tersebut hanyalah karangan dari para pembina pramuka. Kepolosan kami sebagai anak-anak menerima mentah-mentah cerita tersebut dan percaya. Setelah kami selesai berdoa dan tidak sanggup lagi menangis, para pembina kemudian meminta maaf, menceritakan hal itu adalah bohong dan menjelaskan maksudnya. Agar kami semakin mengerti peran orang tua, selalu menuruti nasehat, tidak membandel dsb.
White lie. Begitu orang menyebut. Kebohongan yang mempunyai tujuan tidak buruk. Terkadang bertujuan baik, seperti cerita di atas. Kita melakukannya hampir tiap hari, sadar maupun tidak. Seorang anak yang berbohong pada ibunya, bahwa ia jajan terlalu banyak di sekolah, padahal tabungan miliknya dipinjam temannya untuk berobat. Seorang istri berbohong pada suaminya, bahwa ia ada rapat di kantor malam ini, padahal menemani klien makan di cafe. Ibu si anak mungkin sangat strict soal tabungan dan suami si istri mungkin sangat cemburuan. Karena alasan-alasan itulah mereka berbohong, untuk menghindari hal lebih buruk yang mungkin terjadi jika mereka jujur.
Padahal, alasan untuk berbohong akan selalu ada. Jika alasan yang muncul pertama di benak terasa kurang kuat, kita akan berusaha supaya yang kedua, ketiga, keempat lebih argumentatif. Sampai alasan paling sempurna ketemu. Dan alasan untuk berbohong akan selalu terdengar dan terlihat 'putih' di telinga dan mata kita, liars.
Lalu? Berbohong itu selamanya buruk? Bagaimana dengan pembina pramuka tadi? Mereka menggunakan kebohongan berupa cerita menarik, supaya kami anak-anak lebih mudah menangkap hikmahnya?
Saya tidak berani menyimpulkan. Anda berani?
(Malam itu kami semua tidak bisa tidur, mengobrol di tenda masing-masing. Topik obrolan kami bukan tentang orang tua, tetapi meteor.)