<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d20516250\x26blogName\x3dHASTO+ANGGORO\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLACK\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://hastoanggoro.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://hastoanggoro.blogspot.com/\x26vt\x3d813154366030461087', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe", messageHandlersFilter: gapi.iframes.CROSS_ORIGIN_IFRAMES_FILTER, messageHandlers: { 'blogger-ping': function() {} } }); } }); </script>

Tak sabar

December 22, 2006

Tak sabar rasanya ingin kembali membaui harumnya tanah kebasahan

Tak sabar rasanya ingin kembali mendapati senyum penuh ketulusan

Tak sabar rasanya ingin kembali menikmati masakan kehangatan

Tak sabar rasanya ingin kembali melangkahi jalan penuh kenangan

Tak sabar rasanya ingin kembali ... pulang

(Selamat Natal semua, semoga damai kasih tak hanya bersemayam tanpa arti di dalam hati.)

Penawaran ada karena permintaan ada

December 20, 2006

Pernah kesal karena angkutan umum di depan kendaraan Anda berhenti mendadak seenaknya? Saya yang sehari-hari naik roda dua sering mendapati itu. Dongkol, kesal, pengen marah bercampur jadi satu. Belum lagi panas yang menusuk dan asap knalpot yang merasuk. Wuah. Lengkap sudah rasanya penderitaan.

Entah mau angkot, bajaj, metromini, kopaja ataupun taksi, semua sama saja. Berhenti kapan saja di mana saja kalau ada penumpang mau naik. Bikin macet. Belum kalau berhentinya lama, kita kan ngiranya di depan macet, padahal dia ngetem. Luaaama.

Toh, akhirnya saya berada pada posisi 'penyebab' kemacetan. Kami mencegat sebuah taksi yang berlawanan arah dengan keinginan kami. Taksi tersebut putar balik di jalan sempit padat. Menyebabkan kemacetan kecil selama hampir semenit, karena masih ditambah proses kami bertiga membuka pintu dan masuk ke dalam taksi.

Mengutip sebuah hukum ekonomi, konsumen membuat hukum permintaan dan kemudian produsen menjawabnya dengan hukum penawaran. Calon penumpang memproklamirkan kebutuhannya akan transportasi dan penyedia jasa angkutan umum meresponnya. Begitulah yang terjadi, dan kenyataannya di jalan, 'kebutuhan' tersebut bisa muncul dengan amat tiba-tiba dan 'respon' yang diberikanpun sangat cepat. Pengguna jalan yang lain hanya bisa mengalah dan memaki dalam hati, kalau masih waras paling hanya membunyikan klakson secara mantap dan menambah kesal pengguna jalan lainnya lagi. Kejadian yang sudah merupakan bagian paling biasa dari keseharian. Apalagi di ibu kota. Dimana semua orang merasa penting.

Mengutip dari pengalaman saya, menyimpulkan siapa yang sebenarnya bersalah cukup sulit juga. Wong simbiosme mutualisme, situ ada mau gua ada perlu. Sama-sama butuh. Sama-sama untung. Tapi kalau dipersentase, yang jelas si sopir taksi lebih tak bersalah dibanding saya. Kenapa? Kepentingan orang banyak lebih berharga daripada waktu sepersekian menit saya kan?

Buat pengguna angkutan umum; lihat kanan kiri depan belakang atas bawah deh kalau nyetop. Jangan cuma —taat kalau ada yang liat— aja dong.

Buat non pengguna angkutan umum; orang sabar disayang Tuhan loh.

(Anda butuh waktu. Kami butuh uang. —Tulis seorang penyedia angkutan umum di kaca belakang metromininya.)

Kora-kora

December 18, 2006

Ok, sebut saya ketinggalan jaman, amat sangat ketinggalan. Hari libur kemarin saya baru menaiki wahana Kora-Kora atau Perahu Ayun di Dunia Fantasi Ancol, untuk pertama kalinya. Sebuah pengalaman yang cukup luar biasa. Sekitar 40an orang duduk di dalam sebuah bentukan perahu dan diayun bersama hampir tegak lurus bumi. Persis seperti ayunan raksasa. Sebagai seorang manusia biasa yang tidak bisa terbang, dan pembenci fakta yang diputar-balikkan saya memberanikan diri untuk naik.

Dan yang terjadi selanjutnya memang separuhnya sempat terlintas di dalam perkiraan saya. Tapi separuhnya tidak. Adrenalin memuncak menghantam dinding otak, jantung seakan terputar berpindah posisi, isi perut tergunjang tak normal kembali ke langit-langit lambung, seluruh stok darah terasa mengalir ke kepala dan di detik selanjutnya seketika berada di ujung kaki tanpa melewati perut, mata tak bisa terpejam karena terbelalak sangat lebar dan kerongkongan dipenuhi teriakan tanpa suara tak terkendali. (well, kelihatannya saya harus mengurangi konsumsi kambing ... )

Jujur, baru kali itu saya merasa amat ketakutan. Pengalaman buruk masa lalu seperti dikejar anjing tetangga, memecahkan guci kesayangan Ibu lalu gagal mengelemnya kembali atau dikeroyok kakak kelas sok jagoan, pokoknya ndak ada apa-apanya!! Rasa takut, ngeri, marah dan dendam (kepada diri sendiri, kok mau-maunya naik, kepada teman yang ngajak ke Dufan, mas-mas operator mesin dan penemu Kora-Kora), segera berubah menjadi kepasrahan dan akhirnya rasa syukur karena waktunya habis. Phyuuh, 3 menit yang (semoga) tak akan saya ulangi lagi.

Takut - ngeri - marah - pasrah - syukur. Hmm, seems familiar? It's all about steps at everything in life, isn't it?

Taruh saja ketika sebuah masalah datang menghadang dalam hidup kita, adalah rasa takut yang segera datang menyergap dan sekuat mungkin kita akan berusaha menghindar dari kenyataan. Kalau masalah itu bertambah parah, tahap selanjutnya adalah kengerian, terrified. Takut akan segala kemungkinan yang pualing buruk. Kemudian kita marah, kasus yang tersering terjadi adalah marah kepada diri sendiri. Baru menyalahkan orang lain. Setelah segala kemampuan dikerahkan menyembuhkan si masalah dan tidak ada tanda-tanda ke arah perbaikan, kepasrahan muncul. Lalu, tiba-tiba, BLASH!! Problem solved, everything's fine. Dan kita bersyukur kepada Tuhan, atas penyertaanNya, yang Ia lakukan, bahkan tanpa diminta.

... tanpa diminta.

...

(Setelah itu, saya masih kuat untuk Halilintar (yang ini sih asyik sob). Tapi maaf-maaf saja untuk Kicir-Kicir, tidak ada tempat untuk kaki ini berpijak di wahana itu. So, i'm off. Sorry guys:-P.)

Masih muda, bujangan, ganteng, kaya lagi

December 16, 2006

Seorang tukang parkir supermaket mengatakan itu kepada saya. Tidak tahu jelas maksudnya apa. Dia melihat saya sendirian berbelanja (cukup banyak dan bukan barang-barang kebutuhan primer) dan ketika keluar mengambil kendaraan ia bertanya di mana istri saya. "Kok belanja sendiri?", katanya. Saya jawab saya belum punya istri, lalu kalimat itu spontan meluncur darinya.

Setiap orang selalu melihat dirinya kurang dibandingkan orang lain. Dan peribahasa penghibur seperti "ah, rumput tetangga kan selalu tampak lebih hijau" sudah basi. Tetap saja rumputnya sendiri terlihat kuning. Saya contohnya, selalu menggerutu dalam hati ketika melihat orang seumuran yang 'lebih' dibandingkan saya. Lebih sukseslah, lebih mantap portofolionyalah, lebih gede gajinyalah, lebih punya banyak networklah dll, dll, dll.

Tapi saya lupa, dan tidak menyadari bahwa ternyata masih banyak orang-orang yang berada ' lebih di bawah'. Maksud saya, 'mendongak' adalah hal yang paling sering dilakukan oleh manusia. Bukan tidak mungkin, orang yang saya lihat berada di langit ke tujuh, menggerutu juga melihat orang yang (menurut saya) berada di langit ke empatbelas, dan begitu seterusnya.

Laut punya dasar, langit tidak.

Orang pesimis mengartikan; janganlah terus menerus meratapi setiap kekuranganmu dan bersyukurlah akan semua kelebihanmu. Tapi berhubung saya seorang optimis, itu berarti peluang untuk menggapai langit ke 1.000.001 terbuka lebar! Yippie!!

(Young, bachelor, gorgeous and rich. Man! Hmm, he didn't noticed smart though, hemhem, but never mind. That really is a confidence booster!!)

For the real man, please stand up!!!!

December 12, 2006

"Wah udah penuh ya, nggak ada kursi lagi", kata seorang ibu. "Iya nih, turun aja apa ya?", sahut ibu yang lain. "Jangan lah, ntar kita telat check-in lagi. Nunggu bus belakang penuh bisa seperempat jam lebih lagi berangkat."

Alhasil, berdirilah mereka di koridor sempit bus bandara. Dan sialnya, mereka berdiri tepat di samping saya (yang mendapat kursi). Sepanjang perjalanan pikiran sayapun sibuk berdebat. "Kursi gw kasih gak ya?" / "Ah, salah mereka sendiri dong, berangkat mepet." / "Nah, rugi dong loe jadi laki-laki, masa nggak mau ngalah buat ibu-ibu." / "Biarin aja ah, orang lain nggak ada yang ngasih tempat juga kok."

Dan begitulah, selama perjalanan dari Gambir ke Cengkareng yang sejam kurang sedikit itu saya saya memutuskan untuk tetap duduk manis, tidak beranjak dari kursi barang sedikitpun. Begitu juga para pria di sekitar saya.

Kasus seperti itu mungkin akan berbeda jika terjadi di dalam busway, misalnya. Peraturan yang menyebutkan kursi untuk wanita hamil, orang tua, anak-anak dan orang cacat diprioritaskan lumayan ditaati oleh penumpang, terutama para pria yang menjadi obyek peraturan. Dengan rela mereka berdiri sepanjang perjalanan, 'menyerahkan' kursi yang didapat dengan susah payah kepada subyek peraturan yang baru saja masuk. Kalau di bis biasa, apalagi metromini, boro-boro ada prosesi serah terima kursi, peduli saja nggak.

Pertanyaannya sekarang; apa yang menyebabkan seseorang (dalam hal ini pria) taat pada peraturan? Merujuk pada kasus busway, takut malu akan sanksi sosial (bukan hukum) merupakan alasan utama. Takut dicap tidak tahu sopan santun, bebal dll. Ada lagi alasan supaya terlihat jantan. Atau sedang bawa gandengan atau calon pacar.

(Atau mungkin, malu dianggap tidak tahu malu.)

Berani bohong itu baik

December 08, 2006

Waktu saya kelas 4 SD, sekolah mengadakan jambore perkemahan untuk pramuka siaga, dan saya satu di antara pesertanya. Seminggu penuh kami berkemah di sebuah lapangan sepakbola di kampung pinggir kota. Pada malam terakhir, setelah acara jurit malam, kami semua dikumpulkan untuk mengikuti api unggun. Acara berlangsung seperti normalnya sebuah api unggun, bernyanyi bersama, permainan, dsb. Sampai akhirnya seorang anggota pembina pramuka mengambil alih mikrofon dan mulai bercerita; "Jam 9 malam tadi, kami tidak sengaja mendengarkan siaran radio dari Australia. Radio tersebut memberitakan bahwa ada sebuah meteor raksasa yang sedang melayang menuju ke bumi, dan diperkirakan akan menabrak pukul 1 pagi nanti. Seluruh umat manusia seketika akan musnah, kiamat. Kita masih mempunyai waktu 2 jam sebelum tabrakan itu akan terjadi, tapi sayangnya untuk memulangkan kalian ke rumah masing-masing adalah tidak mungkin. Sudah sangat malam dan tidak ada kendaraan yang akan mengantar. Jadi di sinilah kita, hanya bisa menunggu. Selama 2 jam sisa waktu terakhir kita, saya ingin kalian semua melakukan sesuatu, yaitu mengingat segala kebaikan orang-orang terdekat kalian, orang tua, kakak, adik, sahabat, keluarga kalian. Berdoalah untuk mereka, dan meminta maaflah dalam doa segala kesalahan kalian." Hampir seluruh peserta kemah menjadi histeris. Kami menangis dan kemudian berdoa sesuai yang dianjurkan pembina.

Kita semua tahu tabrakan itu tidak pernah terjadi. Cerita meteor tersebut hanyalah karangan dari para pembina pramuka. Kepolosan kami sebagai anak-anak menerima mentah-mentah cerita tersebut dan percaya. Setelah kami selesai berdoa dan tidak sanggup lagi menangis, para pembina kemudian meminta maaf, menceritakan hal itu adalah bohong dan menjelaskan maksudnya. Agar kami semakin mengerti peran orang tua, selalu menuruti nasehat, tidak membandel dsb.

White lie. Begitu orang menyebut. Kebohongan yang mempunyai tujuan tidak buruk. Terkadang bertujuan baik, seperti cerita di atas. Kita melakukannya hampir tiap hari, sadar maupun tidak. Seorang anak yang berbohong pada ibunya, bahwa ia jajan terlalu banyak di sekolah, padahal tabungan miliknya dipinjam temannya untuk berobat. Seorang istri berbohong pada suaminya, bahwa ia ada rapat di kantor malam ini, padahal menemani klien makan di cafe. Ibu si anak mungkin sangat strict soal tabungan dan suami si istri mungkin sangat cemburuan. Karena alasan-alasan itulah mereka berbohong, untuk menghindari hal lebih buruk yang mungkin terjadi jika mereka jujur.

Padahal, alasan untuk berbohong akan selalu ada. Jika alasan yang muncul pertama di benak terasa kurang kuat, kita akan berusaha supaya yang kedua, ketiga, keempat lebih argumentatif. Sampai alasan paling sempurna ketemu. Dan alasan untuk berbohong akan selalu terdengar dan terlihat 'putih' di telinga dan mata kita, liars.

Lalu? Berbohong itu selamanya buruk? Bagaimana dengan pembina pramuka tadi? Mereka menggunakan kebohongan berupa cerita menarik, supaya kami anak-anak lebih mudah menangkap hikmahnya?

Saya tidak berani menyimpulkan. Anda berani?

(Malam itu kami semua tidak bisa tidur, mengobrol di tenda masing-masing. Topik obrolan kami bukan tentang orang tua, tetapi meteor.)

Jagonya bersih-bersih

December 01, 2006

Teman saya, mahasiswi S2, cerita. Dia punya dosen bule. Nah, di sela sebuah kuliah tentang SDM si bule tadi ngasih perumpamaan (pakai bahasa bule nih, ini versi terjemahannya), "Orang Indonesia itu kalau misalnya saya tempatkan jadi manajer, nilainya maksimal cuma 50. Kalau jadi supervisor, paling-paling mentoknya saya kasih 80. Nah kalau saya suruh bersih-bersih, mesti deh, semua dapet 100!"

(Apa iya, gitu? Mmm iya ya, gitu ya. Gubrakk!! (kepleset kain pel, kelamaan mikir).)