<body><script type="text/javascript"> function setAttributeOnload(object, attribute, val) { if(window.addEventListener) { window.addEventListener('load', function(){ object[attribute] = val; }, false); } else { window.attachEvent('onload', function(){ object[attribute] = val; }); } } </script> <div id="navbar-iframe-container"></div> <script type="text/javascript" src="https://apis.google.com/js/platform.js"></script> <script type="text/javascript"> gapi.load("gapi.iframes:gapi.iframes.style.bubble", function() { if (gapi.iframes && gapi.iframes.getContext) { gapi.iframes.getContext().openChild({ url: 'https://www.blogger.com/navbar.g?targetBlogID\x3d20516250\x26blogName\x3dHASTO+ANGGORO\x26publishMode\x3dPUBLISH_MODE_BLOGSPOT\x26navbarType\x3dBLACK\x26layoutType\x3dCLASSIC\x26searchRoot\x3dhttps://hastoanggoro.blogspot.com/search\x26blogLocale\x3den_US\x26v\x3d2\x26homepageUrl\x3dhttp://hastoanggoro.blogspot.com/\x26vt\x3d813154366030461087', where: document.getElementById("navbar-iframe-container"), id: "navbar-iframe", messageHandlersFilter: gapi.iframes.CROSS_ORIGIN_IFRAMES_FILTER, messageHandlers: { 'blogger-ping': function() {} } }); } }); </script>

Lemari besi isinya jeruk, melambai aja yuuk?

January 30, 2007

Pria muda dengan gigi putih, rambut rapih dan wajah bersih (berima!) melenggok dengan luwesnya di hadapan klien, kontradiktif dengan postur tegapnya. Gerak-gerik tubuhnya cenderung genit dan tatapan matanya seringkali melirik nakal ke arah lawan bicaranya. Wangi parfum branded tercium samar namun konstan dari tubuhnya. Ungkapan-ungkapan gaul semacam 'cape de', 'maksud loe?', 'ya iya laah', dll (btw getow loh sudah basi .red) lancar keluar dari mulut pria muda itu.

Ia bukan orang yang melambai (b***i is a very strong word for me, I prefer not to use it). Sama sekali bukan. Ia adalah gambaran umum pekerja kantoran perusahaan kelas menengah atas di ibukota. Terutama yang berkutat di penjualan, promosi atau humas. Mereka adalah pria, namun kurang beperilaku layaknya seorang pria.

Namun kalau di luar jam tugas, (jam kantor yang nine to five seringkali kurang bagi para profesional muda ini) mereka kembali ke kodrat sebagai pria. Tertawa keras tanpa tangan menutupi mulut, bersendawa sembarangan atau meliuk-liuk di lalu-lintas padat Jakarta dengan keberanian dan ketangkasan berkendara yang hanya dimiliki kaum Adam. Topeng yang mereka kenakan langsung dilepas setelah jam tugas selesai. Dan dikenakan lagi secepat tugas memanggil. Begitu mudah.

Dunia marketing memang kejam. Dunia yang mengandalkan kecakapan berkomunikasi ini cukup ketat dalam menyeleksi calon penghuninya. Hanya manusia yang dikaruniai tampak luar di atas rata-rata saja yang diterima. Tampang Anda pas-pasan? Maaf. Carilah pekerjaan lain. Tidak hanya itu, kepribadian juga diseleksi. Anda introvert? Maaf sekali lagi. Dunia profesional mengharapkan Anda aktif, dinamis dan juga eksplosif. Tidak ada istilah diam itu emas. Yang ada : banyak bicara menghasilkan uang.

Masalahnya, 'keharusan untuk berbicara' itu kemudian bergeser menjadi perilaku yang menyimpang dari seharusnya seorang pria bersikap. Saya tidak komplain dengan sikap ramah ataupun murah senyum. Seorang tenaga penjualan memang harus mempunyai sikap itu. Tapi mbok ya'o jangan menjadi orang lain. Jangan karena mengatasnamakan tuntutan profesi, Anda menyimpang dari kepribadian Anda sendiri. Juga jangan sampai terlalu terbiasa menggunakan topeng hingga akhirnya tidak bisa terlepas. Tapi sekali lagi, semua itu pilihan.

Ngono yo ngono tur mbok yo ojo ngono. Ya toh?

(Anda dari Mars? Siap-siap saja. Bumi sedang berubah menjadi Venus.)

Taat cuma kalo bukan keadaan darurat

January 28, 2007


Foto diambil 26 Januari di shelter Indosiar, Daan Mogot. Ketika banjir lokasi terjadi di seputaran Grogol, mengakibatkan kemacetan luar biasa.

Corporate culture

January 25, 2007

Kami berdua, saya dan pacar, menghabiskan waktu Minggu sore di restoran cepat saji McD. Tidak banyak sebenarnya yang kami pesan. Setelah kurang lebih 15 menit, kami telah menghabiskan 1 burger dan 1 spaghetti. Bungkus kosongnya kami letakkan di nampan beserta kantong kentang goreng yang masih berisi separuh. Tiba-tiba ada karyawan McD menghampiri, dia menanyakan apakah kami sudah selesai. Belum sempat kami mengiyakan, ia sudah mengambil nampan tersebut dan membawanya ke garbage spot (kebetulan letaknya berdekatan dengan posisi kami duduk). Kami setengah berteriak memanggil, tapi ia (mungkin) tidak mendengar dan lempeng saja membuang seluruh isi nampan.

Mengapa kami tidak lebih gigih mempertahankan isi kentang goreng yang masih separuh itu? Mungkin dari cerita di atas kami terkesan pasrah saja menyaksikan kentang goreng itu terbuang sia-sia. Ada beberapa alasan, pertama, tentu saja kami malu kalau harus berteriak-teriak keras di publik. Kedua, apakah hanya gara-gara kentang separuh, kami harus keukeuh berteriak memanggil si karyawan itu? Ketiga, ilfil dong makanan yang sudah hampir sampai di bibir tempat sampah kami makan lagi? Keempat, pacar saya tidak mau kami menjadi penyebab karyawan tersebut dimarahi atasannya hanya gara-gara missed dalam kerjaannya (kalau saya sih sebaliknya hehehe).

Komitmen luar biasa dari seorang karyawan dalam menjalankan tugasnya adalah satu hal yang baik, tentu saja. Tetapi yang patut dipertanyakan adalah seberapa keras sebuah sistem dijalankan. Dalam hal ini bisa dibilang karyawan tersebut mengambil mentah-mentah sebuah peraturan dan sama sekali tidak mengindahkan esensinya. Ia tidak berusaha untuk mengecek lebih teliti. Ia menjalankan peraturan yang telah digariskan oleh perusahaan dengan tidak memperhatikan imbasnya pada pelanggan.

Bukankah peraturan tersebut bertujuan untuk membantu pelanggan lebih nyaman dalam menikmati hidangan? Dan juga untuk membuat lingkungan bersih, bebas dari sampah, enak dipandang dan sehingga menarik minat lebih banyak pengunjung?

(Kedua hal tersebut tidak kami dapatkan, setidaknya di McD itu. Entah di McD lain. Soalnya saya sudah ketagihan nikmatnya brown sauce Prosperity Burger, hehehe, nyam!)

Ampun dee

January 22, 2007

"Ampun de". Kalimat tersebut saya lihat keluar dari bibir seorang wanita penyeberang jalan. Kenapa lihat bukan dengar? Teknisnya saja sih, ia berada di luar jangkauan pendengaran saya. Saya hanya membaca gerak bibirnya saja. Bukan posisi saya dan dia berjauhan. Tapi karena hingar bingar lalu lintas di sekitar kamilah yang membuat saya tidak bisa mendengar apa yang wanita itu gumankan.

Ya. Si wanita itu mungkin sudah lebih dari lima menit berdiri di atas trotoar. Ia ingin menyeberang ke sisi lain jalan. Tapi apa daya keberaniannya langsung ciut melihat deretan tanpa habis kendaraan bermotor yang melintas sebegitu cepatnya di jalur Daan Mogot - Tangerang. Kaki mungilnya beberapa kali melangkah ragu turun ke aspal, dan beberapa kali juga mundur takut ke belakang. Matanya fokus melihat ke arah kanan, awas memperhatikan celah kosong yang mungkin terjadi di sela deru kendaraan. Yang tidak kunjung tiba. Setidaknya selama saya memperhatikan dia.

Mengapa menyeberang jalan menjadi salah satu dari sekian banyak hal yang sukar dilakukan di negeri ini?

Tidak mau mengalah. Tiga buah kata yang menurut saya telah menjadi semacam manual bagi pengguna jalan. Mereka merasa penting, butuh dan akhirnya memacu kendaraannya dengan menomorsekiankan keselamatan. Saya sendiri adalah pengguna jalan. Saya merasakan dongkolnya dipantatin angkutan umum yang nongkrong seenaknya. Saya merasakan gondoknya dipotong jalan tiba-tiba oleh bajaj. Saya merasakan panasnya disalip motor yang datang meliuk-liuk dari belakang. Saya juga merasakan sendiri betapa marahnya dipepet mobil dengan margin antara yang sangat tipis.

Saya ikut-ikutan tidak mau mengalah. Kemudian sama-sama menggila, unjuk keberanian, adu beringas. Lalu melupakan pengguna jalan yang lain, penyeberang jalan.

(Kalau kata agata – anak gaul jakarta – "ih capee dee ... ga maksud banget deh nih posting!".)

Jablay

January 20, 2007


Jarang dibelay? Jagonya ngebelay? Jaman terbelay ...?

Pheww!!

January 19, 2007

Kemarin saya melakukan kebodohan(s). Lagi. Saya ada photo session sore-sore di Bundaran HI. Motor saya parkir di lantai bawah Plaza Indonesia. Setelah puas foto-foto saya berencana langsung balik kantor. Saya ke bawah ambil motor. Kebetulan saya membawa 2 tas, satu tas gendong berisi laptop dan 1 tas cangklong (ckckck ... bahasanya) berisi kamera dan segala peralatan tempurnya. Kebiasaan saya sebelum nyemplak ke motor, segala bawaan saya taruh dulu di atas jok motor tetangga. Setelah ritual memakai jaket, sarung tangan, helm, kacamata dan mempersiapkan uang parkir pas, karcis dan stnk, baru bawaan itu saya ambil lagi. Sayapun naik keluar ke arah Thamrin dengan santainya. Nah, ndelalahe saya melenggang pergi dengan 1 tas ketinggalan! Tas yang cangklong itu. Baru sadar setelah sampai EX. Syeet!! Langsung teriak dengan helm cakil masih menempel di kepala. Reaksi spontan bin gila lalu saya lakukan. Putar balik dan ngebut melawan arus! Hampir 200 meter deh. Semua orang ngeliatin lah pokoknya. Ini orang nekat banget, begitu mungkin pikir mereka. Bayangin aja, di daerah Bundaran Hotel Indonesia getow loh, pusatnya Indonesia! (ada CCTV gak ya :(, no polisi motor gw kecatet gak ya?). Untung gak kena tilang (ada sih polisi satu lihat, tapi dia tugas jaga doang nggak bawa motor buat ngejar ... hihihi). Masuklah saya ke parkir bawah dengan super duper ngebut.

God bless me! Tas cangklong itu masih nongkrong dengan suksesnya di motor entah milik siapa. Pheww!!

Banyak hikmah mengesankan yang saya ambil dari peristiwa yang nyaris berakhir mengenaskan itu. Pertama tentu saja, saya harus lebih berhati-hati dan selalu memberi perhatian pada hal-hal sekecil apapun. Kedua, saya harus mengurangi melamun-melamun yang nggak jelas. Ketiga, saya harus mulai mengurangi hujatan kepada mereka yang tidak disiplin berlalu-lintas. Siapa tahu mereka benar-benar dalam situasi panik dan terjepit seperti saya kemarin. Slogan berlalu-lintas saya sudah berubah; taat cuma kalo bukan keadaan darurat!

(Keempat, kelihatannya metode transportasi saya harus secepatnya beralih ke roda empat nih, biar resiko terjadinya lagi kejadian bodoh itu berkurang, hehehe ... ada yang mau nyumbang anak kos 150 jeti buat beli Yaris?)

Memelintir waktu

January 17, 2007

Seandainya saja nih, ada seorang ilmuwan yang berhasil menemukan mesin waktu. Dan Anda adalah orang pertama yang berkesempatan mencoba. Hal apakah yang akan Anda perbaiki? Kalau saya, maka inilah yang akan saya lakukan, top five :

5. Tidak berlama-lama saat kuliah
Saya kuliah tepat 5 tahun. Normal sebenarnya untuk ukuran anak teknik. Tapi ternyata, ilmu yang didapat waktu kuliah hampir tidak terpakai sama sekali (secara profesi saya juga melenceng sih dari background pendidikan:)). Dulu saya beranggapan, mencari ilmu sebanyak-banyaknya sewaktu mahasiswa, sehingga nanti waktu bekerja sudah punya bekal cukup. Salah BESAR! Pelajaran hidup profesional tidak ada satupun yang didapat dari bangku kuliah. Politik antar rekan kerja, unggah-ungguh menghadapi bos, dsb, semuanya dipelajari sambil jalan. Kalau misalnya dulu saya kuliah 4 tahun saja, maka pengalaman kerja saya akan dimulai lebih cepat kan?

4.Tidak ingin seperti Ade Rai
Tahun ketiga kuliah saya berkeinginan memiliki badan seperti binaragawan. Alhasil saya mulai berolahraga fitness, angkat berat. Setelah kurang lebih setengah tahun, saya mulai bosan. Saya berhenti melakukan olahraga itu. Dan apa hasilnya sekarang? Timbangan saya menunjuk ke angka 20 kg lebih berat! Bukannya otot bicep dan tricep yang bertambah besar, tapi lemak di paha, perut dan pipi yang semakin subur. Six pack tinggal kenangan ...

3.Tetap ingin dikawat
Kami punya dokter gigi keluarga, namanya drg. Taswin. Sekarang sudah almarhum. Dulu, waktu SD, saya berkunjung ke tempat prakteknya, ingin dikawat. Karena gigi depan saya mirip metromini dan kopaja, saling salip-menyalip. Namun beliau malah berkata, "Cah lanang kok dikawat, ra ilok". Nah, sayapun mengurungkan niat untuk merapikan gigi. Waktu itu memakai kawat gigi memang belum sebanyak dan se-ngetrend sekarang. Pemakainya bisa dibilang nerd atau semacamnya.

2.Belajar komputer lebih cepat
Saya mengenal komputer dan internet sejak SMA, tahun 1997. Waktu itu bahkan saya sudah punya email, biaggong@usa.net hehehe. Gak tau masih idup apa kagak. Pokoknya lumayan gaul untuk ukuran anak daerah deh. Bisa online tiap hari lagi di rumah. Tapi ya itu, sifat menunda-nunda dan tidak peduli tampaknya melekat di pribadi saya. Bahkan waktu itu saya sudah meminta si mas tukang instaler untuk memasukkan program freehand ke hardisk. Tapi nggak disentuh-sentuh. Bodoh memang:(. Sampai akhirnya waktu menakdirkan saya untuk berkenalan dengan dunia advertising dan desain di awal tahun 2004. Dunia yang berkaitan erat dengan komputer dan tetek bengeknya. Dunia yang memaksa saya untuk bergaul dengan CorelDraw dan sekarang Illustrator. (eh eh belum makai Freehand juga ...)

(1. .... Ssst, yang ini rahasia ... hehehe.)

Acts first, think later

January 16, 2007

Sudah menjadi tabiatnya orang-orang tua (bukan orangtua-orangtua .red), membanding-bandingkan keadaan masa kini dengan masa lalu. Bercerita bagaimana susahnya bertahan hidup di masa mereka. Bahwa saat ini jamannya sudah berubah tidak akan diterima sebagai alasan obyektif. "Sekarang itu jamannya sudah enak, tidak seperti dulu", patok mereka.

Benarkah seperti itu? Taruh saja Anda sepantaran saya, termasuk ke dalam generasi Y awal. Yang lahir antara tahun 1977-1994. Generasi yang di masa produktifnya terlibat langsung pada saat transisi teknologi paling cepat dalam sejarah manusia. Generasi yang (harus) bergerak cepat dalam arus informasi. Generasi videocall dan youtube. Generasi yang meletakkan kekuatan kemauan untuk menentukan apa yang akan dan tidak akan terjadi. Setujukah Anda dulu kehidupan terasa lebih sukar?

Mungkin iya dari sisi pemenuhan kebutuhan pokok. Dulu mungkin karena belum swasembada beras / belum ngetren impor beras dari negeri sahabat. Atau dari sisi pemenuhan kebutuhan bebas berpendapat. Secara si om dari Kemusuk Godean masih berkuasa. Atau juga dari sisi pemenuhan kebutuhan hiburan. Dulu belum ada tv, makanya orang-orang dulu anaknya banyak, lha wong hiburan pas malam hari cuma 'itu'.

Nah, kalau dari sisi pemenuhan kebutuhan ketenangan emosional?

Gen Y sudah melihat hampir semua hal, mulai tumbangnya rasa aman global karena terorisme terbukti nyata lebih mengerikan daripada komunisme, meningkatnya perlawanan terhadap sosok-sosok mainstream, runtuhnya kesombongan ratusan ribu manusia karena alam yang mereka diami bergejolak, sampai pada kemudahan mencari arti sebuah kata hanya dengan mengetikkannya. Kesemuanya itu memberikan pengaruh yang luar biasa bagi perkembangan setiap aspek kehidupan Gen Y. Meskipun masih berkembang, mereka telah memperoleh lebih dari cukup gambaran, yang sangat kompleks, mengenai kondisi dunia. Di usia yang dua kali lebih muda dari orangtua mereka dulu mendapatkan gambaran tersebut.

Pengetahuan realis yang dimiliki oleh Gen Y sangat bertolak belakang dengan mimpi-mimpi indah yang ditulis di biografi orang-orang sukses dunia. Yang berisi cerita penaklukkan jutaan pasar dengan modal awal 50 sen. Gen Y memiliki pemahaman yang telah mendasar bahwa 'American Dream' hanya dan hanya terjadi di generasi sebelum mereka. Gen Y sangat mengerti bahwa saingan profesional mereka bukan hanya tetangga mereka saja, tapi juga seluruh dunia. Mereka telah digembleng oleh ketatnya kompetisi, bahkan sebelum terjun ke arena yang sebenarnya.

Seiring kita bergerak lebih jauh ke dalam era pencitraan seperti saat ini, perlunya pembelajaran akan salah satu bahaya dari pengetahuan yang terlalu luas. Keanekaragaman informasi telah melakukan penyederhanaan cara pandang terhadap berbagai hal. Pertimbangan dilakukan dengan dosis yang berlebihan, rasa skeptis, sinis dan pesimis muncul bahkan ketika menghadapi peluang emas di depan mata. Hanya karena pernah terjadi sebelumnya pada orang lain dengan hasil akhir yang kurang baik. Atau malah karena output yang sangat sukses sehingga membuat kita keder dulu. Takut tidak dapat meraih titik yang sama.

(Orang tua pernah muda, tapi kita orang muda belum pernah tua. Perubahan dan perkembangan terus terjadi setiap detik. Jadi jangan biarkan Anda berkubang hanya di hari ini. Sikap spontan terkadang memang perlu dilakukan. Lakukan dan nikmati saja. Segar kok rasanya.)

Mayday

January 14, 2007


Mayday! Mayday! Ada emergency konsumerisme!

Sesuap nasi, seteguk air dan sebongkah berlian

January 11, 2007

Melihat keseharian manusia Jakarta, hanya rasa miris yang muncul. Berangkat bekerja subuh dari rumah, sampai lagi di rumah jam 9 malam. Begitu seterusnya. Lima, terkadang enam hari seminggu proses itu berulang terus. Realitas yang terjadi di metropolitan, tempat dimana Mercedes Benz S class dan gubuk yang terbuat dari kardus adalah sama-sama hal biasa.

Kebudayaan modern adalah sebuah hasil pembentukan dari ketergantungan manusia akan ciptaannya sendiri, yaitu uang. Ya, alat tukar bernama uang adalah ciptaan manusia. Ia memang tidak terbentuk begitu saja. Ia adalah cicit dari proses yang begitu lama. Ketika manusia purba merasa kebutuhannya tidak terpenuhi dari hasil bercocok tanam atau berburu, mereka menggunakan metode penukaran barang. Kemudian alat tukar berupa barang berharga atau logam mulia, sampai sistem yang tetap kita pakai sampai sekarang, uang.

Uang yang kita kenal sekarang sebenarnya adalah bentuk semu dari 'kepercayaan'. Nilai riil dari selembar kertas mengkilat bertuliskan Seratus Ribu Rupiah tidaklah sebesar itu. Kalau dihitung mulai dari bahan baku, tinta, proses cetak, desain, akomodasi dll, selembar uang warna merah matte atau merah glossy hampir sama biaya produksinya. Kita semua merasa kertas tersebut berharga sesuai yang tercetak karena itulah nilai yang kita percaya. Nilai yang telah diajarkan oleh sistem. Bahkan nilai tersebut semakin absurd ketika uang plastik merajalela. Orang berhutang kok dianggap keren. Proses pembelian menjadi semakin mudah karena tinggal gesek saja.

Uang seakan sudah menjadi standar baku dalam menilai orang lain. Kesuksesan diukur dari seberapa besar penghasilan kita. Cita-cita luhur anak jaman dahulu seperti menjadi dokter (supaya bisa menolong orang sakit) atau insinyur (supaya bisa membangun negara) sudah dikikis oleh keinginan anak masa sekarang yang pengen menjadi artis, misalnya. Karena mudah mendapat banyak uang mereka beralasan.

Semua orang butuh uang. Untuk pemenuhan kebutuhan. Kebutuhan untuk memenuhi aktualisasi diri. Manusia terjebak dalam pusaran tanpa henti yang disebabkan oleh ciptaannya yang paling sempurna.

(Hari terakhir saya berada di Jogja sebelum pindah ke Jakarta, seseorang berkata kepada saya, "Di Jakarta itu kalau sukses ya sukses benar-benar. Tapi kalau gagal, ya gagal benar-benar". Di telinga saya terdengar : "Tiada tempat untuk orang yang berkemampuan setengah-setengah".)

My precious

January 07, 2007


Gile dah cincinnya, hampir nutupin 3 jari!!

Salah sasaran

January 03, 2007

Waktu mudik Natal kemarin, saya berangkat dari Jakarta ke Yogyakarta menggunakan kereta. Karena sudah memegang tiket sejak sebulan sebelumnya, setelah masuk Gambir langsung menuju ke lantai 3 menunggu kereta datang. Masih cukup sepi di atas, sayapun langsung mencari kursi kosong. Tahu kan kursi Gambir, kursi panjang sejenis lincak besi yang hanya muat untuk dua orang, disusun tiga-tiga saling membelakangi. Cukup untuk 12 orang dewasa. Kebetulan ada kursi yang hanya ditempati oleh sebuah tas besar. Masih muat untuk satu orang, saya langsung duduk saja.

Lama kelamaan calon penumpang lain mulai ramai berdatangan. Karena semua kursi sudah penuh, banyak yang kemudian berdiri atau jongkok di bawah tiang neon box.

Keluarga dengan seorang anak berhenti persis di depan saya. Bapaknya berdiri mengawasi kereta datang, ibunya duduk setengah jongkok di umpak tiang menunggui anak perempuannya bermain dengan koper bawaan. Awalnya saya nggak ngeh, duduk santai saja sambil membaca koran. Tapi kemudian saya menyadari, tas besar di samping saya tidak kunjung diambil oleh si pemiliknya. Saya tidak tahu siapa pemiliknya, entah mbak-mbak di kursi sebelah kanan saya atau bapak-bapak di belakang saya.

Cukup keterlaluan juga sebenarnya menurut saya, lebih dari 15 menit saya menunggu reaksi dari pemilik tas. Sambil pura-pura membaca, saya mengamati mbak di sebelah tas itu, (yang kemungkinan besar sebagai pemilik tas). Ia tampak ragu, walaupun sedang berbicara di handphonenya, matanya sering kali melirik ke arah tas. Terlihat ia sebenarnya akan menaruh tas itu di lantai, tapi agaknya merasa sayang karena tas itu masih bagus dan bermerk (sekedar analisis loh). Atau mungkin ia berharap orang lain menyangka sayalah pemilik tas tersebut.

Entah hanya perasaan saja, tapi saya merasa seperti diawasi. Dan memang benar, beberapa kali saya beradu pandang dengan ibu si anak dan beberapa orang lain yang berdiri. Mereka mungkin berpikir bahwa sayalah pemilik tas tersebut. Dan mereka punya alasan yang cukup argumentatif, saya berada di kursi yang sama dengan si tas.

Seseorang kadang lebih rela manusia lain duduk di lantai kotor daripada benda mati miliknya.

(Akhirnya saya tidak kuat dengan tatapan mata sinis bin menghakimi dari ibu-ibu itu. Saya kemudian mengemasi bawaan dan mencari tempat lain. Detik kedua setelah saya berdiri meninggalkan kursi, tas itu seketika diambil oleh mbak sebelah, lalu ia taruh di lantai. What is that about? )